Ilustrasi. |
𝘖𝘭𝘦𝘩: 𝘔𝘪𝘤𝘩𝘢𝘦𝘭 𝘓𝘶𝘮𝘢𝘯𝘢𝘶𝘸
Semua orang yang terlibat dan mendalami politik pastilah paham
dengan adagium berikut ini, yang berkata "Dalam politik tidak ada kawan
yang abadi, yang ada kepentingan yang abadi".
Teka-teki wakil gubernur DKI Jakarta, yang mengalami kekosongan
selama hampir dua tahun lamanya, akhirnya terjawab sudah. Bukanlah calon wagub
dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), melainkan dari Partai Gerindra, yakni
Ahmad Riza Patria (ARP). Persahabatan politik yang cukup panjang "habis
sudah".
Pada dasarnya, memang sejak kursi wagub DKI Jakarta ditinggalkan
oleh Sandiaga Uno, oleh karena keikutsertaannya menjadi Cawapres yang
berpasangan dengan Prabowo Subianto, tampaknya Partai Gerindra tidak rela untuk
memberikan kursi wagub DKI Jakarta kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Karena itulah, pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta yang hampir selama dua
tahun terkatung-katung dan terkesan penuh intrik. Mengapa? Karena sekalipun
hanya wakil gubernur, namun itu sangat berarti, apalagi dengan Gerindra secara
partai bergabung dalam pemerintahan, di mana Ketum-nya sekaligus petingginya
mendapatkan kursi menteri, yakni Menhan. Hal ini menjadi bisa dikatakan sebagai
langkah yang sangat strategis bagi Partai Gerindra, walau waktu menjabat hanya
tersisa dari dua tahun lagi lamanya.
Gerindra sepertinya tengah berada di atas puncak, dengan
prestasi politik yang gilang-gemilang. Ditambah lagi dengan konteks situasi
sekarang ini di DKI Jakarta, di mana Anies Baswedan, sang gubernur yang kerap
disorot karena kebijakannya yang cukup kontroversial. Mulai dari penanganan
banjir, kemacetan hingga penanganan wabah virus corona (COVID-19), dan juga
soal belanja daerah yang banyak dipermasalahkan. Lagi-lagi Gerindra punya
peluang yang cukup besar di DKI Jakarta.
Akumulasi masalah yang ada pada diri maupun kebijakan Anies
Baswedan, bukan tidak mungkin jika Anies Baswedan akan "dihentikan"
di tengah jalan. Apa bisa? Tentu saja sangat bisa dalam politik. Bukankah
politik itu adalah "seni menjadikan yang tidak mungkin menjadi mungkin,
skor mencolok dalam pemilihan wakil gubernur di DPRD DKI Jakarta, adalah
gambaran yang jelas. Pemilihan yang dilakukan di DPRD DKI Jakarta pada tanggal
6 April 2020 kemarin, adalah gambarannya, yaitu 81 suara banding 17 suara.
Artinya, semua partai selain Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mendukung Ahmad
Riza Patria sebagai calon yang diusung oleh Partai Gerindra, dan didukung oleh
partai-partai lain. Jadi jika Gerindra bermain "lebih jauh" lagi,
maka bukan tidak mungkin gubernur Anies Baswedan lengser. Ini hanya persoalan
kapan dimainkannya. Hal ini akan sangat mungkin terjadi mengingat pilpres tahun
2024, aromanya sudah sangat tercium dari saat ini.
Di sisi lain, jika kita mengamati di media sosial, adanya wabah
virus corona (COVID-19) seakan terus ‘digoreng’ untuk meminta Presiden Jokowi
agar mundur dari jabatannya sebagai Presiden/Kepala Negara. Padahal apa salah
Jokowi? Memang Jokowi penyebab virus corona? Faktanya, inilah gambaran atau
wajah perpolitikan di Indonesia yang doyan dengan kalimat "lebih cepat
adalah lebih baik". Orang-orang sepertinya sudah tidak sabar untuk mulai
branding capres. Bagaimana hubungannya dengan Anies Baswedan? Tidak dapat
dipungkiri bahwa gubernur DKI Jakarta yang satu ini memang cukup populer
sebagai gubernur. Dia suka disebut gubernur dengan rasa presiden. Apakah ini
memuji atau menyindir? Biarlah masing-masing menafsirkan menurut seleranya.
Karena itu membiarkan Anies Baswedan langgeng di kursi empuk gubernurnya, sama
saja membantu pesaing makin hari makin kuat.
Sampai saat ini, Prabowo Subianto suka atau tidak suka, masih
menjadi magnet politik bagi pagi para pendukungnya. Apalagi Prabowo Subianto
saat-saat ini sedang menikmati "rendezvous" dengan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), tepatnya dengan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri.
Anggap saja ini hanyalah suatu analisis pinggiran. Tapi sekali
lagi, adagium politik berikut ini, yang berkata "Dalam politik tidak ada
kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi" tampaknya
terbukti. Mungkin kita hanya bisa mengangkat bahu, seraya berkata "who
knows".
** 𝘗𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬, 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢.
0 Komentar