Lukisan RA. Kartini/Ist



𝘖𝘭𝘦𝘩: 𝘈𝘣𝘩𝘰𝘵𝘯𝘦𝘰 𝘕𝘢𝘪𝘣𝘢𝘩𝘰

Bulan April di setiap tahunnya setidaknya mengingatkan kita paling tidak akan dua hal. Yang pertama 'April mop' pada tanggal 1 April dan peringatan 'Hari Kartini' pada tanggal 21 April. Momentum hari Kartini bisa dikatakan sebagai hari spesial bagi kaum perempuan Indonesia oleh karena seorang pejuang kaum perempuan tercatat dalam sejarah Republik Indonesia pernah membuat terobosan dalam dunia pendidikan bahwa perempuan harus berkarya, bahkan setara dengan kaum pria.

Sosok bernama lengkap Raden Ajeng Kartini bisa dikenang melalui buku-buku maupun kumpulan surat-surat yang pernah dituliskannya, seperti “Habis Gelap Terbitlah Terang” kepada teman-temannya yang ada di negeri kincir angin (Windmill - Belanda) oleh karena keinginannya yang begitu kuat untuk menentang diskriminasi terhadap kaum perempuan di jamannya waktu itu. Bayangkan di era Kolonial Belanda waktu itu, wanita begitu dilecehkan hak-haknya dan tak ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Budaya ini memang begitu mengakar dalam, sehingga menyebabkan perempuan hanya bisa sebagai ibu rumah tangga, atau sebagai istri tanpa pernah diberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk berkarya seperti halnya dengan kaum laki-laki yang bebas mengenyam pendidikan.

Menyedihkan sekaligus kontras memang! Lihat saja seorang Kartini, meskipun status ekonomi orangtuanya bisa dikatakan berkecukupan, namun ia tidak diperbolehkan untuk menggapai cita-citanya melalui sekolah setinggi-tingginya. Kartini hanya diperbolehkan mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar saja atau dengan istilah saat itu E.L.S. (Europese Lagere School) setingkat sekolah dasar.

Ternyata halangan itu tidak membuat semangat Kartini memudar. Ia mencari jalan lain untuk bisa mewujudkan impiannya memajukan kaum wanita di bangsanya. Berkat ketekunannya waktu itu seperti gemar membaca, memberikan pendidikan keterampilan keluarga, bergaul, dll, maka impian itu mulai diwujud-nyatakannya melalui pendirian sekolah di berbagai tempat. Bahkan demi emansipasi gender, Kartini berkeinginan kuat untuk ikut sekolah pendidikan guru ke negeri Belanda agar dia semakin mengetahui bagaimana cara yang terbaik untuk menjadi seorang guru. Namun malang sekali, ayahnya tidak mengijinkannya untuk studi ke Belanda, melainkan dirinya dijodohkan dengan seorang Bupati Rembang bernama Raden Adipati Joyodiningrat. Akhirnya Kartini pun menikah dengan sang Bupati.

Menikah ternyata bukanlah akhir dari semangatnya atau visinya memudar. Melainkan ia berusaha keras mewujudkan impiannya, mengedepankan pendidikan bagi kaum perempuan. Hal itu pun ditandai dengan didirikannya beberapa sekolah gratis. Bermula dari daerah Jepara dan Rembang, kemudian merambah ke daerah lain seperti Yogyakarta, Semarang dan sekitarnya.

Upaya dan perjuangan sosok Kartini memang tidak lama oleh karena umurnya tidak dipanjangkan oleh Sang Maha Kuasa. Kartini meninggal di usia yang relatif sangat muda, yaitu di usia dua puluh lima tahun. Ia meninggal 17 September 1904 usai melahirkan putra pertamanya. Namun soal lama-singkat hidup di dunia ini tak menjadi soal. Yang terpenting adalah adakah pengaruh positif yang telah kita perbuat bagi kemajuan bangsa Indonesia? Kartini telah berbuat banyak bagi kemajuan bangsa ini, teristimewa bagi kaum perempuan Indonesia. Semangat Nasionalisme dalam diri Kartini telah ada sebelum Sumpah Pemuda dikumandangkan.

Sosok Kartini begitu banyak menginspirasi dan memotivasi kaum perempuan di belahan nusantara ini. Coba saja lihat bagaimana buah perjuangan sosok Kartini bisa melahirkan tokoh-tokoh wanita Indonesia yang up-to-date sekarang ini seperti: Sri Mulyani Indrawati, Butet Manurung, Yenny Wahid, Khofifah Indar Parawansa, Agnes Monica (Agnez Mo) dan masih banyak lagi wanita-wanita yang telah merasakan keberhasilan dan kesuksesan oleh perjuangan sosok Kartini yang telah menginspirasi mereka.

Saya pribadi juga harus mengakui bahwa oleh karena perjuangan Kartini, ibu saya tercinta (red. Almarhumah) bisa merasakan efek positifnya, di mana beliau mengenyam yang namanya baca-tulis. Sejenak membayangkan, seandainya Kartini tidak pernah ada di Indonesia, mungkin saja ibu saya akan mengalami buta huruf hingga kini. Sepantasnyalah kita berterima kasih buat sang Pejuang Perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Harus diakui bahwa saya pun bisa mengenyam pendidikan hingga kini, oleh karena kiprah dan perjuangannya.

Dahulu memang era di mana kegelapan menyelimuti kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi, namun kini terang itu telah terbit atas perempuan-perempuan Indonesia. Kini perempuan Indonesia telah bangkit dan akan terus bangkit dari keterpurukan. Derajat laki-laki dan perempuan adalah sama di mata hukum. Jangan pernah kita membatasinya. Di hadapan Sang Pencipta laki-laki dan perempuan adalah sama. Terima kasih ibu kita kartini. Bangkitlah terus perempuan Indonesia!



**Penulis adalah pengagum Ibu kita Katini. Tinggal di Sumatera Utara