Ilustrasi.



Oleh: Michael Lumanauw

Paska dibatalkannya kenaikan iuran BPJS yang diputuskan oleh Peraturan Presiden No 75 Tahun 2019 Tanggal 24 Oktober, oleh Mahkamah Agung pada tgl 31 Maret 2020,  akhirnya pemerintah kembali menaikkan besaran iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dengan format yang baru. Peraturan Presiden yang baru, yakni Perpres No 64 Tahun 2020, tentang kenaikan iuran BPJS, khususnya kelas 1 dan kelas 2. Sementara kelas 3 kenaikannya sedikit ada perbedaan, di mana selisihnya disubsidi oleh pemerintah sebesar Rp 16.500.

Adapun rincian kenaikan besaran iuran tersebut sesuai dengan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 sebagai berikut:
Kelas I; iuran sebelumnya sebesar Rp 80.000, setelah mengalami kenaikan menjadi Rp 150.000. Untuk kelas II; iuran sebelumnya sebesar Rp 51.000, setelah mengalami kenaikan menjadi Rp 100.000. Dan, untuk kelas III; iuran sebelumnya sebesar Rp 25.500, setelah mengalami kenaikan menjadi Rp 42.000. Pada kelas III ini ada sedikit perbedaan, di mana pemerintah mensubsidi iuran tersebut sebesar Rp 16.500 hingga batas waktu tahun depan 2021, menjadi Rp.35.000, selisihnya Rp 7.000 disubsidi oleh Pemerintah.

Tak dapat dipungkiri, adanya kenaikan iuran peserta BPJS ini tentu mendapat beragam komentar dari berbagai kalangan, mulai dari politisi ataupun kelompok-kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Ibarat mendapatkan sebuah peluru baru untuk segera ditembakkan ke arah pemerintah, kelompok ini kerap tampil seolah membela dan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Padahal, kita tahu mereka ini bersama kelompoknya diduga terlibat dalam perampokan uang rakyat melalui korupsi baik pribadi maupun berjamaah.

Selain kelompok di atas, pihak yang merasa keberatan dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini, adalah peserta BPJS itu sendiri, yang kalau mau jujur, sebenarnya memiliÄ·i kemampuan tetapi enggan untuk membayar atau inginnya gratis. Selain itu, mereka masyarakat yang pada dasarnya kurang paham kebijakan Pemerintah, berikut berbagai pertimbangan dan seperti apa dampak dari setiap kebijakan.

 
Siapakah Penerima BPJS?

Berdasarkan data yang dikeluarkan tanggal 27 Desember 2019, peserta BPJS adalah terbagi dalam beberapa kategori:
1. Penerima Bantuan Iuran/PBI, dengan jumlah 96,5 juta jiwa. Peserta PBI ini, seluruhnya ditanggung oleh pemerintah, yakni mereka yang dikategorikan sebagai orang miskin.

2. Pekerja Penerima Upah/PPU TNI, dengan jumlah 1,57 juta jiwa.

3. Pekerja Penerima Upah/PPU POLRI, dengan jumlah 1,2 juta jiwa.

4. Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN)/PNS, dengan jumlah 1,57 juta jiwa.

5. Pekerja Penerima Upah/Bada Usaha Milik Negara (BUMN) dengan jumlah 1,57 juta jiwa.

6. Pekerja Penerima Upah/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan jumlah 2.10 ribu jiwa.

7. Pekerja Penerima Upah/PPU Swasta dengan jumlah 34,1 juta jiwa.

8. Pekerja Penerima upah/PPU Mandiri dengan jumlah 30,2 juta jiwa.

9. Peserta Bukan Pekerja dengan jumlah 5,01 juta jiwa.

Dari jumlah penerima manfaat BPJS Kesehatan di atas, yang terbesar iurannya ditanggung seluruhnya oleh pemerintah sekitar 38,8% dari jumlah penduduk Indonesia 269 juta jiwa. Peserta dengan kategori pekerja mandiri yang tidak mampu dapat meminta surat keterangan tidak mampu dan masuk ke program Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang ditujukan bagi mereka orang yang kurang mampu dan harus merubah kartunya dengan mendaftar terlebih dahulu ke kelurahan untuk kemudian diteruskan ke BPJS Kesehatan.

Melalui data tersebut dapat kita ketahui berapa besaran biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan secara cuma-cuma. Peserta mandiri dengan kelas III yang tidak mampu, bisa mendaftar menjadi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) alias gratis.

Jadi jika masyarakat bisa memahami beban pemerintah dalam konteks perlindungan kesehatan mayoritas rakyat, maka tidak ada alasan untuk mengeluh, protes bahkan nyinyir dengan adanya proses kenaikan besaran iuran BPJS Kesehatan.

Permasalahan Umum dalam Pelaksanaan BPJS Kesehatan
 
Permasalahan dengan banyaknya pihak yang protes yang kemudian menjadi pemberitaan yang viral, baik di media mainstream maupun di media sosial justru kebanyakan pihak yang menggunakan kelas I (Satu), yang sebenarnya tidak terlalu bermasalah dalam hal kemampuan keuangan, atau peserta yang punya penghasilan, tetapi tidak perduli dengan kesehatannya dirinya.

Ilustrasi yang bisa saya gambarkan, contohnya bagi mereka para perokok dalam seharinya sanggup membeli rokok minimal satu bungkus sehari seharga Rp 14.000. Jika dikalikan selama sebulan, maka ia akan menghabiskan Rp 420.000. Jika dibandingkan dengan iuran kelas III (Tiga) dengan iuran sebesar Rp 42.000 setiap bulannya. Contoh lain, bagi orang yang hobi main gadget, yang setiap harinya diperkirakan menghabiskan pulsa untuk membeli kuota minimal 7rb - 10rb, maka dalam sebulan ia akan menghabiskan Rp 210rb - Rp 300rb.

Permasalahan lainnya, adalah risiko jika peserta tidak membayar iurannya secara rutin, maka ketika ia jatuh sakit akan lebih repot mengurus sana-sini oleh karena kartu BPJS-nya tidak aktif. Permasalan seperti demikian justru menghambat program pemerintah dalam hal perlindungan kesehatan bagi rakyat miskin. Peserta BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia mencapai 224jt jiwa atau sekitar 83%.

Permasalahan lainnnya, seperti pelayanan yang tidak maksimal di Rumah Sakit, keterlambatan pembayaran dari pemerintah. Di daerah di Rumah Sakit, terkadang obat-obatan kosong dengan alasan pihak rumah sakit belum membayar tagihan obat ke pihak distributor farmasi. Belum lagi, keluhan datang dari para dokter sebab honor yang mereka terima sangat kecil dengan penggunaan BPJS, dan itupun harus menunggu terlebih dahulu setelah pemerintah dalam hal ini BPJS belum membayar ke pihak Rumah Sakit.

Dari pengamatan penulis, pelaksanaan BPJS Kesehatan sejauh ini secara manfaat cukup baik, walaupun tentu masih ada kekurangan di sana-sini. Belum lama ini, pengalaman saya ketika berobat untuk penyakit yang memang mengharuskan dilakukan tindakan dioperasi, pengurusannya memang masih memakan waktu yang panjang. Ada begitu banyak pasien, dengan antrian yang panjang, mungkin mencapai hampir seribuan pasien perharinya, seperti di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dll. Yang penting adalah semua sudah berdasarkan data yang benar, pasien bisa bersabar, pasti akan terlayani. Untuk mengatasi antrian ketika pendaftaran, sebagian RS sudah punya mekanisme pendaftaran online, jadi semakin dipermudah.

Manfaat BPJS Kesehatan pada dasarnya adalah baik. Dari sisi biaya bisa dikatakan lebih murah bila dibandingkan dengan pasien biasa tanpa BPJS. Sebagai contoh, ketika saya rencananya akan berobat di RS Cipto Mangunkusumo untuk operasi pengangkatan batu empedu dan operasi batu yang ada di saluran empedu dengan metode ERCP, Laparascopy, sudah ditentukan waktunya dan sudah dipanggil untuk operasi pada akhir Maret 2020 lalu. Informasi dari pihak RS mengatakan total biaya sekitar 15-jutaan dengan menggunakan BPJS Kesehatan. Inipun karena operasinya sudah menerapkan metode yang canggih (computerize), bukan konvensional perut di belek dengan pisau dan luka yang panjang. Namun karena satu dan lain hal akhirnya operasi dilakukan di RS swasta di Jakarta Pusat dengan kelas yang sama kelas I (Satu) karena rumah sakit tersebut tidak menerima pasien BPJS yang akan melakukan operasi angkat kantong empedu dan batu di saluran empedu. Biaya saat itu sekitar 140jt, karena dua tindakan. Tetapi karena setelah diperiksa CT Scan, hanya pengangkatan kantong empedu dan biayanya hampir 90jt. Dapat dibayangkan perbedaan biaya yang lumayan besar jika tidak menggunakan BPJS Kesehatan dan jika menggunakan.

Adilkah jika Iuran BPJS Kesehatan Mengalami Kenaikan? Apakah pemerintah tidak punya empati terhadap rakyat yang susah? Pertanyaan-pertanyaan demikian mungkin muncul dalam benak masyarakat. Dasar hukum dalam penetapan Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020, tentang Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, adalah UUD 1945 Pasal ayat 2, yaitu, "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Hal ini adalah kewenangan Presiden untuk membuat peraturan pemerintah sesuai amanat UUD 1945. Satu hal lagi yang tidak boleh dilupakan adalah UUD 1945 Pasal 28H ayat 1 yang bunyinya, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan tempat tinggal yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Landasan hukum berikutnya adalah UU No 24 Tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial. Melalui beberapa landasan hukum di atas, kita dapat melihat bahwa Presiden sesuai amanat UUD berhak membuat peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Yang berikut adalah setiap orang/rakyat Indonesia berhak mendaptkan jaminan kesehatan. Dengan demikian maka kewajiban presiden untuk menjalankan UUD dan UU. Kita tahu bersama manfaat BPJS Kesehatan adalah baik, khususnya bagi rakyat kecil yang ada di kelas kelas III (Tiga) yang terbagi dari peserta Penerima Bantuan Iuran/PBI, yang semuanya ditanggung pemerintah dan yang saat ini hanya membayar Rp 25.500, dari total Rp 42.000, sisa Rp 16.500, ditanggung pemerintah. Artinya pemerintah telah melaksanakan amanat UUD kepada sebagian besar rakyat Indonesia. Kenaikan yang lebih besar adalah pada kelas II (Dua) dan kelas I (Satu), yang kemampuan keuangannya cukup untuk membayar iuran sebesar Rp 100rb/bulan dan Rp 150rb/bln.

Menurut hemat saya, sebenarnya pemerintah telah mengambil langkah yang sangat bijaksana dengan besaran kenaikan iuran yang lebih besar yaitu Rp 49rb untuk kelas II (Dua) dan Rp 70rb untuk kelas I (Satu). Memang setiap peraturan ataupun kebijakan pemerintah tidak akan bisa memuaskan semua orang. Namun demi kepentingan mayoritas rakyat Indonesia, tidak ada salahnya pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan, demi terciptanya layanan perlindungan kesehatan yang lebih baik oleh pemerintah kepada masyarakat.