Bansos berlogo 'Bantuan Presiden'/Ilustrasi. |
Oleh: Michael Lumanauw
Mengantisipasi dampak global pandemi Covid-19, pemerintah Republik Indonesia tengah berkonsentrasi menyiapkan dan menyalurkan jaring pengaman berupa bantuan sosial, baik berupa bantuan sembako maupun bantuan sosial tunai (BST) bagi masyarakat yang terdampak, utamanya bagi masyarakat dengan ekonomi rendah.
Penyaluran bantuan ini tentu tak berjalan mulus tanpa adanya tantangan. Salah satu tantangan pemerintah adalah ketika bantuan tersebut berlabelkan ‘Bantuan Presiden’ yang mendapat nyinyiran dari sejumlah pihak, mulai dari politisi, tokoh agama, hingga pengamat hukum tata negara.
Mengamati akan situasi demikian, pertanyaannya, apakah salah ketika tas kantong sembako tersebut diberi logo ‘Bantuan Presiden’? Jawabannya tentu mudah dan sederhana. Hanya saja, oleh karena tanggapan "miring" terhadap bansos tersebut kebanyakan datangnya dari kelompok yang ber-oposisi atau yang berseberangan dengan penguasa, dalam hal ini pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Hal yang remeh temeh ‘dibuat’ menjadi seolah hal yang kompleks hingga menjadi polemik.
Seabrek komentar dan nyinyiran berkaitan dengan hal ini. Ada yang berceloteh, bahwa pemberian bantuan sosial itu bukanlah pribadi seorang presiden, melainkan bersumber dari keuangan negara. Ada juga yang menyebut, jangan ditulis bantuan presiden, karena itu berasal dari uang rakyat. Yang lain mengatakan, hal itu pencitraan semata. Sementara, yang pro terhadap Jokowi berpendapat bahwa dalam hal ini tidak perlu lagi pencitraan, karena Jokowi sudah jelas tidak bisa ikut kembali menjadi capres pada pemilu 2024 yang akan datang.
Jika ditinjau dari aspek hukum maupun undang-undang, sejauh mana kesalahan akan label ‘Bantuan Presiden’ pada kantong tas penyaluran sembako tersebut? Atau, jika tidak salah baik secara hukum maupun undang-undang, apakah salah menurut etika? Kita menjadi bertanya-tanya dan penasaran tentunya.
Ditinjau dari Aspek Hukum dan Undang-Undang
Menurut hemat saya, jika ditinjau dari aspek hukum maupun undang-undang, pemberian bantuan sosial dengan dengan label ‘Bantuan Presiden’ tidaklah salah. Alasannya, sebab tidak ada hukum ataupun undang-undang yang dilanggar. Presiden RI adalah seorang kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Melalui UUD 1945 Pasal 4 ayat 1 ini, jelas Presiden adalah kepala Pemerintahan. Jadi jabatan presiden itu, melekat padanya adalah kekuasaan negara atau pemerintahan. Soal bantuan sosial ke masyarakat dengan label ‘Bantuan Presiden’ tidak salah oleh karena kekuasaan yang melekat pada dirinya sebagai seorang kepala pemerintahan.
Lambang Kepresidenan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Sekretariat Negara Nomor 10 Tahun 2010, lambang kepresidenan dikembalikan menjadi bintang padi kapas, karena yang digunakan sebelum 2010 berupa bintang padi-padi.
Mari kita perhatikan secara bersama-sama lebih detailnya. Pada kantong tas bantuan sembako presiden tersebut, pada bagian atas ada logo bintang yang diapit oleh logo padi dan kapas. Logo bintang dalam Pancasila adalah sila yang pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara, logi padi dan kapas dalam Pancasila adalah sila yang kelima yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kalau mau diartikan, tas yang berlabel ‘Bantuan Presiden’ dengan lambang di atasnya adalah logo bintang yang diapit padi dan kapas yang adalah logo dari lembaga kepresidenan, maka dapat diartikan bahwa berkah datang dari Tuhan Yang Maha Esa diberikan kepada rakyat Indonesia demi mewujudkan rasa keadilan sosial, utamanya bagi mereka rakyat yang berekonomi lemah demi sebuah keseimbangan.
Jangankan soal bantuan sosial yang diberi label ‘Bantuan Presiden’, kekuasaan presiden bisa menyatakan keadaan darurat atau bahaya, menyatakan keadaan kegentingan memaksa sehingga bisa membuat Perppu/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, menyatakan perang dan sebagainya. Semua hal itu adalah hak yang melekat pada seorang Presiden.
Apakah Salah dalam Hal Etika?
Etika yang paling konkrit adalah norma-norma hukum itu sendiri. Mengukur sesuatu beretika atau tidaknya, haruslah dilihat apakah sudah sesuai dengan kaidah hukum. Imanuel Kant, filsuf Jerman yang yang pandangan filsafatnya sangat berpengaruh dalam dunia, berpendapat bahwa: "moral/etika baru dapat diukur apabila seseorang menaati hukum secara lahiriah". Karena jika etika hanya didasarkan pada rasa, sudut pandang, logika seseorang atau kelompok saja, maka itu sangatlah subjektif. Seseorang yang karena tidak setuju dengan pemerintah/presiden karena berbagai alasan temasuk perasaan kecewa sakit hati, atau karena tidak sesuai dengan pikiran atau kebijakan atau kepentingan partai/organisasi, maka penilaian etikanya akan sangat subjektif. Dalam hal banyak sekali contoh, ketika masih sejalan, ketika berada dalam kekuasaan yang sama/mendapat porsi dalam kekuasaan semua pendapat baik hukum dan etika sama. Ketika tidak lagi sejalan, tidak lagi dalam kekuasaan dan sebagainya jadi berbeda. Itulah sebabnya etika yang paling benar atau paling tidak menjadi standar bersama adalah, apakah etika itu sesuai dengan hukum atau tidak.
Menurut hemat saya, marilah setiap orang Indonesia mendasarkan cara berpikir, dan bersikap bukan didasari oleh rasa, dan kepentingan, tetapi berpikirlah dan bersikaplah didasari oleh hukum. Karena dalam UUD 1945 yang merupakan dasar bagi semua hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat 3 berbunyi: "Negara Indonesia adalah negara hukum".
0 Komentar