Ilustrasi. |
Oleh: Michael Lumanauw
Pemerintah telah
memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk diterapkan dalam
rangka memutus rantai penyebaran virus
corona (Covid-19). PSBB sebagaimana tercantum dalam UU No 6 tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan pasal 1 ayat 11 yang bunyinya: "Pembatasan Sosial
Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan-kegiatan tertentu penduduk dalam
suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi
sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi."
Dalam konteks PSBB ini kemudian Pemerintah Pusat melalui
menteri perhubungan membuat larangan untuk tidak mudik pada saat atau menjelang lebaran. Larangan ini tentu
menimbulkan reaksi pro dan kontra di tengah masyarakat. Salah satunya, reaksi tersebut
datang dari seorang pakar hukum tata negara yang sudah tak asing lagi karena
kerap mucul pada acara diskusi di televisi, yakni Dr. Refly Harun yang berpendapat
bahwa larangan untuk masyarakat mudik, adalah melanggar hak asasi manusia (HAM)
sebagaimana tercantum dalam UU No 39 tahun 1999 pasal 27 ayat 2 yang mengatakan:
"Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk ke wilayah Negara
Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Lantas, apakah benar demikian, melarang agar tidak mudik
sama dengan melanggar UU tentang HAM? Jika ditinjau dari sisi situasi dan
kondisi yang normal, tidak ada suatu keadaan darurat atau bahaya atau kegentingan
yang memaksa, larangan mudik jelas melanggar hak asasi manusia atau melanggar
UU HAM. Namun hal ini akan berbeda jika situasi dalam keadaan darurat,
berbahaya atau adanya kegentingan yang memaksa.
Presiden sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya sesuai
UUD 1945 pasal 22 ayat 1: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang" telah menerbitkan PERPPU/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, mengingat diperlukan dana yang sangat besar, sehingga berbagai anggaran yang sudah dialokasikan untuk
berbagai proyek harus disesuaikan, karena pemerintah memerlukan dana yang
sangat besar untuk membantu rakyat dalam kebutuhannya dan peralatan kesehatan untuk
penanganan Covid-19.
Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), maka
pemerintah sesuai dengan undang-undang, melakukan pembatasan kegiatan
tertentu yaitu melarang kegiatan untuk
tidak mudik, dengan tujuan demi memutus mata rantai penyebaran wabah virus
corona (Covid-19) hemat saya, tentu saja hal ini tidak berlawanan dengan
undang-undang (UU) ataupun hak asasi manusia (HAM).
Bahkan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 J ayat 2 memberi
kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pembatasan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak asasi orang
lain dan untuk memenuhi moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
suatu masyarakat.
Minggu
lalu, dalam wawancara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi (Joko Widodo) dengan
pertanyaan yang tajam soal beda mudik dengan pulang kampung di salah satu
stasiun televisi nasional, Jokowi memberi jawaban yang sangat tepat dan penuh
kehati-hatian untuk memberi letak perbedaan akan kedua kata tersebut. Jokowi
menjelaskan secara detail, bahwa mudik adalah dilakukan oleh masyarakat
untuk pulang ke kampung halaman untuk sementara waktu di momen masa lebaran
atau hari raya idul fitri. Sedangkan pulang kampung, jika seseorang tidak lagi
memiliki pekerjaan di kota besar oleh karena satu dan lain hal, maka ia berusaha
pulang kampung untuk tinggal menetap melakukan aktivitas pekerjaannya yang baru
di kampung.
0 Komentar