Oleh: Michael Lumanauw

Bak makan buah simalakama, perseteruan antara Agus Harimurti Yudhoyono - Annisa Pohan Vs Denny Siregar (DS) jika terus dilanjutkan barangkali akan makin 'salah' dan jika dihentikan bisa dianggap 'kalah', pertaruhannya adalah sebuah harga diri sebuah nama besar keluarga Cikeas. Bagaimanapun, langkah harus diputuskan, entah itu melanjutkannya atau sebaliknya menghentikannya.

Sebagaimana kita ketahui AHY yang belum lama ini didaulat menjadi orang nomor 1 di Partai Demokrat (PD) lewat proses aklamasi pada Minggu 15 Maret 2020 lalu dalam Kongres Partai Demokrat, sejak saat itu tentu ia sejajar dengan pimpinan partai yang lainnya. Dipilihnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jauh-jauh hari sudah bisa ditebak. Sejak berhenti dari dinas militer dengan pangkat terakhir mayor, dan kalah dalam pemilihan gubernur DKI tahun 2017 dan gagal cawapres dalam pilpres 2019, tentu jalan dalam dunia politik harus kongkrit dan tepat baginya adalah memimpin partai berlambang segitiga mercy, partai yang berkuasa di RI selama 10 tahun, di mana pendirinya Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden selama dua periode.

Paska terpilih menjadi nakhoda di Partai Demokrat (PD), sepertinya semesta belum berpihak kepada AHY. Hal itu terbukti ketika terjadi perseteruan antara istrinya Annisa Pohan dan Denny Siregar (DS) di media sosial twitter. Bermula dari unggahan AHY dan istrinya di media sosial tentang tugas sekolah anaknya dalam bahasa Inggris tentang Covid-19, yang mana Almira Tunggadewi atau akrabnya dipanggil Aira, meminta kepada Presiden Jokowi untuk dilakukan "lockdown".

Unggahan tersebut ditanggapi oleh Denny Siregar dengan komentar yang mencoba membuka realita bahwa Partai Demokrat (PD) adalah salah satu partai yang mendukung agar "lockdown" diberlakukan. Denny Siregar yang dikenal kritis dan tajam lalu membuat cuitan sebagai berikut: "Bapak udah. Anak udah. Sekarang cucu dikerahkan..kalo ada cicit, cicit juga bisa ikutan minta lockdown." (Dalam tulisan saya sebelumnya, sudah dijelaskan tentang lockdown yang menjadi isu yang cukup sensitif di Indonesia).

Ternyata cuitan Denny Siregar membuat Annisa Pohan ibunya Aira berang dan tidak terima atas cuitan tersebut. Ia mencoba menulis surat terbuka ke Presiden Jokowi dengan reaksi yang sedikit marah dan akhirnya terjadi perang dukungan di medsos, karena telah menganggap bahwa DS sudah membully anaknya Aira. Hal ini pun dilanjutkan pihak AHY dan Anissa ke Bareskrim Polri untuk melaporkan, namun urung dilanjutkan. Pihak AHY hanya meminta dalam 3×24 jam Denny Siregar harus menarik cuitannya, jika tidak maka akan disomasi atau berlanjut ke polisi.

Perang dukungan di jagad media sosial, ternyata setelah diteliti lebih banyak dukungan terhadap Denny Siregar yang memintanya untuk tetap maju dan tak gentar meski harus berlanjut ke ranah hukum. Di sisi lain, reaksi AHY dan Annisa yang lebih dulu membuat ancaman, justru oleh warganet, AHY dan Annisa dianggap tengah menggiring privasi anak di bawah umur ke ranah politik.

Situasi semakin memanas. 'DS' tetap bersikukuh untuk tidak menghapus cuitan tersebut pada akun Twitter miliknya. Ia siap meski harus diperhadapkan ke ranah hukum. Belakangan, para pendukung DS sepertinya tak rela jika menghadapi seorang DS orang se-Partai Demokrat menghadapinya, salah satu dukungan datang dari Ormas terbesar pendukung Jokowi BaraJP siap mengawal dan mendampingi DS jika harus berlanjut ke ranah hukum.

Apakah Berlanjut ke Ranah Hukum atau Sebaliknya Dihentikan?

Menurut hemat saya, sebaiknya perkara cuitan Denny Siregar Vs AHY - Annisa ini dihentikan dengan beberapa alasan berikut:
Pertama, jelas bahwa Denny Siregar dalam hal ini tidaklah sedang membully Aira tetapi arahnya lebih kepada Partai Demokrat (PD). Hal ini pun sudah dijelaskan oleh 'DS' dan dapat dipahami oleh warganet yang tentu dapat memilah duduk perkaranya seperti apa dan bagaimana.

Alasan saya yang kedua, kasus cuitan 'DS' oleh para pakar hukum pidana menyebut bahwa dalam perseteruan ini tidak punya unsur-unsur yang bisa mempidanakan 'DS'.

Ketiga, bisa muncul serangan balik terhadap AHY karena dianggap telah melibatkan anak di bawah umur yang digiring ke ranah politik. Hal ini sangat jelas, mulai dari isi surat dan kepada siapa surat ditujukan semua berhubungan dengan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah atau presiden yang dipilih oleh masyarakat yang memiliki hak politik melalui partai politik. Pasal 15a UU Perlindungan Anak: "Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik".

Keempat, partai politik dan pimpinan partai politik harus bisa menggunakan langkah yang taktis dan strategis. Selalu ada ruang untuk mengambil langkah untuk berdamai. Hal ini dinyatakan langsung oleh Denny Siregar sendiri, bahwa dia tidak akan mengambil inisiatif untuk berkomunikasi dengan pihak AHY atau Partai Demokrat. Artinya, 'DS' membuka peluang untuk "semua bisa baik-baik". Berdamai bukanlah hal yang buruk, juga bukanlah sesuatu kekalahan bagi pihak manapun, tetapi justru sebuah kemenangan dan menyatakan bahwa mereka akan disebut anak-anak Allah. Dalam kitab yang saya yakini, ada tertulis, "Berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. (Injil Matius 5:9)

Kelima, AHY yang relatif masih muda sebagai pimpinan tertinggi Partai Demokrat (PD) harus bisa lebih supel dan harus lebih kuat mental. Anggaplah perseteruan dengan 'DS' beserta warganet ditinjau dengan pikiran positif adalah ujian. Paling tidak, kasus ini sebagai ujian bagi seorang pemimpin partai dalam hal penguasaan emosi, pengambilan keputusan yang taktis-strategis, dan yang terpenting adalah kesempatan untuk menunjukkan kapasitas sebagai pimpinan tertinggi sebuah partai yang besar.

Bukankah hal berdamai itu indah dan bisa merepresentasikan sikap seorang kesatria?