Oleh: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saat menyaksikan jumpa pers full team para pejabat eksekutif moneter Indonesia terkait dampak dan antisipasi krisis ekonomi global pada Minggu, 5 Oktober 2008, saya seketika teringat pengalaman dan perasaan luluh lantak saat saya menghadapi krisis ekonomi 1997-1998. Saya ingat betul, betapa saat itu utang menjadi berlipat, suku bunga melonjak, order kerja merosot sampai ke titik nol. Hal itu mau tidak mau berakibat pada pengurangan karyawan, kehilangan pekerjaan, dan jatuhnya mental untuk waktu yang cukup lama.

Pesan dalam jumpa pers kemarin bahwa pemerintah akan mempercepat reformasi ekonomi dengan perbaikan iklim investasi, perbaikan sarana dan prasarana, percepatan pengadaan listrik yang menjadi keluhan investor, dikomentari oleh media sebagai sesuatu yang klasik, abstrak, dan membosankan. Tentunya kita jadi bertanya-tanya, apakah reformasi ekonomi bisa menjadi jalan keluar "instan" bagi gejala yang "akut" seperti ini? Bukankah keadaan ini hanyalah "detonator" bagi sebuah depresi, baik kultural, gaya hidup, lingkungan, ekonomi, dan politik?

Bicara krisis, tentunya kita pun sangat menyadari, namun terkadang membutakan diri, bahwa praktik-praktik seperti rendahnya disiplin kerja, disiplin waktu, pelanggaran ketertiban, kurangnya ambisi, kesulitan beradaptasi terhadap perubahan dan kesukaan pada hal-hal yang irasional menjadi fenomena yang menyebabkan kita lumpuh untuk bereaksi terhadap keadaan ekonomi dan moneter, sulit menghindari dampak krisis, dan menjadikan kita sulit bangkit kembali saat didera keterpurukan.

Pada level yang lebih tinggi, bisa jadi kita juga sudah lelah menyaksikan pemberitaan seputar pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), penegakan hukum, transparansi, dan wacana kepemimpinan yang menjanjikan sebuah tata kelola pemerintahan yang lebih baik, yang mungkin memang sedang diupayakan. Korupsi dan inefisiensi yang merajalela inilah yang menyebabkan manajemen negara kita lemah, tidak mempunyai power untuk memaksa rakyat berubah, sehingga tidak bisa diandalkan untuk memberi hasil segera. Kitalah sebagai individu yang perlu melakukan antisipasi, mengurangi keserakahan, dan menghentikan gaya hidup "besar pasak daripada tiang".



Tunggu Apa Lagi?

Pada 23 September 2008, seusai Olimpiade, Beijing melakukan aksi Turning out Lights (Pemadam Lampu), dengan misi meningkatkan kesadaran akan langkanya energi. Banyak sekali orang berkomentar bahwa tindakan tersebut hanya formalitas belaka. Namun paling tidak, upaya pemerintah China untuk membuka mata, telinga, dan hati rakyatnya dalam menghadapi krisis energi, dilakukan bukan sekadar berupa wacana saja. Minimalnya, masyarakat jadi lebih mengerti dan lebih bisa mengantisipasi apa yang akan dialami, bila kemungkinan buruk terjadi.

Bagaimana dengan kita? Bila pemerintah menyerukan untuk melakukan tindakan-tindakan positif demi bertahannya kekuatan ekonomi kita, haruskah kita menunggu saja? Sudahkah kita bergerak, mengeluarkan ide dan saling mengingatkan, sehingga doing dan being kita optimal? Sudahkah bangsa kita yang mempunyai kultur musyawarah yang kuat, duduk bersama, dan melakukan brainstorming dengan intensif melakukan tindakan-tindakan ekonomis serta pemotongan ongkos yang tidak perlu?


Bergaya Hidup Ekonomis

Ketika membaca kiriman dalam milis mengenai prinsip hidup sederhana yang dijalani Warren Buffett, orang kedua terkaya di dunia (sekarang yang pertama), saya menjadi malu sendiri. Saya menyadari betapa kita ini hidup dalam kemanjaan yang membawa kita ke dalam kehidupan yang buta ekonomi. Prinsip ekonomi yang dijalankan oleh Warren, seperti menabung uang kecil, hanya mengonsumsi apa yang dibutuhkan, mencapai sasaran secara ekonomis, sangat bertentangan dengan gaya hidup kita yang eksesif, seperti punya 2-3 handphone dan kendaraan, menggunakan tisu secara berlebihan.

Saat krisis pangan sudah didengungkan, yang cepat atau lambat akan dihadapi oleh negara kita yang perlu memberi makanan sehat kepada 225 juta rakyatnya, mestinya kita bisa saling menyadarkan bahwa kita tak lagi pernah ingin kembali ke tahun '50-an, saat pangan saja menjadi sasaran yang sulit dicapai. Situasi ini mengingatkan kita pada Mahatma Gandhi saat membangkitkan kesadaran rakyat India untuk mengangkat kehidupan ekonomi mereka. Dengan prinsip swadeshi yang digaungkannya, rakyat India didorong untuk membeli hasil tenunannya sendiri, padahal saat itu mutu tenunan India sama sekali jauh di bawah standar. Perlahan tapi pasti, gerakan swadeshi mengangkat rakyat India untuk bangga akan produksi dalam negerinya, meningkatkan spirit servis, menguatkan disiplin beragama dan kemanusiaan, serta mendorong India menjadi bangsa yang berbudaya kuat sekaligus mandiri, percaya pada kekuatannya sendiri.

Rasanya terobosan ala Gandhi-lah yang perlu kita lakukan. Tidak usah secara massal, karena bisa kita mulai dari diri sendiri, dari rumah dan dengan keberanian tersendiri. Kita bisa mulai berbagi kendaraan yang ditumpangi, mengurangi pemakaian listrik, bahkan menyehatkan diri dengan banyak melakukan aktivitas manual dan fisik, misalnya bersepeda ketimbang mondar-mandir mengendarai motor besar berharga ratusan juta.

Tentunya ada risiko bila kita melawan arus gaya hidup yang sudah tertanam dalam kehidupan kita. Kita mungkin akan dianggap kurang keren kalau kita berhemat, bergaya hidup secukupnya, berdandan, atau berkendaraan seperlunya. Tetapi, kalau dengan gaya hidup ini kita akan survive dalam menghadapi krisis ekonomi mana pun dan di mana pun, mengapa tidak? Meskipun kita tidak perlu sampai bersikap antimesin seperti zaman Mahatma Gandhi lagi, bersikap ekonomis rasanya tetap merupakan sikap yang modern dan pintar.



** Tulisan ini dikutip dari buku "Fit & Proper" Memberdayakan Manusia, Memenangi Persaingan terbitan Gramedia Pustaka Utama 2009.