Oleh: Yonky Karman, Ph. D

Tiga agama di dunia mengklaim diri sebagai agama samawi. Agama Islam, Yahudi, dan Kristen. Sebagai agama langit, kitab suci masing-masing diyakini penganutnya sebagai wahyu langsung dari Allah. Firman menyejarah dan membentuk umat. Pembentukan umat dan pemahaman jati diri umat terkait langsung dengan pemahaman teks. Teks dipahami komunitas yang dinamika perkembangan selanjutnya tak terpisah dari pemahaman itu.

Karena interaksi yang intens dengan komunitas dalam ruang dan waktu, kebenaran teks juga berciri ruang dan waktu. Daripada kebenaran ahistoris, kebenaran teks keagamaan selalu kontekstual. Maka, jika dimensi wahyu Alkitab sebagi scripture terlalu ditekankan dengan efek dimensi sosio-historis teks dan konteks sosio-historis penerima teks diabaikan, umat bisa terjebak ke dalam skripturalisme.

Kesatuan makna teks kitab suci tidak terletak pada asal-usulnya yang ilahi atau identitas penulisnya, tetapi lebih pada komunitas penerima teks. Untuk itu, dapat dibedakan tiga kategori level pemahaman teks. Pertama, makna teks sebagaimana dipahami komunitas awal yang langsung dibentuk teks yang bersangkutan. Dalam komunitas jemaat purba, ada komunitas Matius, komunitas Lukas, komunitas Yohanes, dan seterusnya.

Kedua, pemaknaan teks menjadi beragam tergantung tempat dan kultur setempat, tarekat, konteks sejarah, konstelasi sosial-politik. Sejarah tafsir Alkitab menunjukkan umat memahami teks dengan ragam dan cara dari masa ke masa. Di samping pokok-pokok iman kepercayaan (core beliefs) yang menjadi karakteristik agama Kristen, spektrum formula dan aplikasi iman Kristen amat luas.

Ketiga, ini paling menentukan jati diri dan praksis gereja, makna teks bagi pembaca sekarang. Pemaknaan teks pada level pembaca kontemporer juga merupakan bagian dari sejarah pemaknaan teks yang dinamis. Menerapkan level pemaknaan satu dan dua begitu saja pada pembaca sekarang membuat makna dipaksakan, padahal konteks historis dulu dan kini tidak sama. Sebagai contoh, pemahaman teologis berdasarkan refleksi Abad Pertengahan yang menekankan kedaulatan Allah dan imutabilitas-Nya yang apatis pada penderitaan manusia tidak akan menyentuh hati audiens masa kini yang melek hak-hak asasi.

Yang abadi adalah firman Tuhan, sedangkan pemahaman teks dan formula doktrinal harus selalu perlu dirumuskan ulang (reformulasi) agar relevan dengan umat sepanjang masa dan dengan persoalan zaman. Pemahaman teks Alkitab memengaruhi jati diri dan praksis gereja. Ketika teks dipahami secara kontekstual, relevansi firman Allah dengan persoalan zaman menjadi lebih nyata.

Kadang-kadang umat berkitab punya problem serius dalam memahami teks-teks yang eksklusif. Terlalu spekulatif untuk mendefinisikan jati diri komunitas gereja dan seluruh praksisnya hanya berdasarkan satu dua teks yang dimaknai lepas dari konteks dekat dan jauh, konteks kitab yang bersangkutan, dan konteks Alkitab secara keseluruhan.

Kita hidup di zaman yang berbeda dari masa ketika Yesus hidup, bahkan juga berbeda dari masa dua generasi yang lalu. Era narasi besar dan tunggal sudah tidak populer. Maka, pemahaman teks dan reformulasi doktrinal perlu mempertimbangkan horizon pluralisme (dibedakan dari relativisme dan sinkretisme). Teks-teks yang bernada triumfalistik terhadap agama lain perlu dimaknai dengan hati-hati.

Untuk itu, diperlukan dekonstruksi pemahaman teks dan teologi, tanpa menghilangkan inti pesan teks. Jangan sampai pewartaan kabar baik dilakukan dengan tidak menghargai keyakinan lain. Dalam praksis bergereja, perlu redefinisi pewartaan sesuai konteks kemajemukan masyarakat Indonesia. Harus juga disengajakan dialog dengan komunitas lain dalam semangat egaliter dan ketulusan untuk saling memahami, bukan dalam semangat apologetis.

Ortodoksi penting, namun ortopraksis juga. Iman tanpa perbuatan adalah mati. Dengan ikut memikul tanggung jawab atas dunia sekarang dan di sini, kesalehan individual (vertikal) tak terpisah dari kesalehan sosial (horizontal). Kesalehan holistik. Gereja harus dilihat dalam konteks bangsa. Dengan cara masing-masing, umat kristiani berperan aktif ikut membangun kerukunan antarumat beragama di Tanah Air.



* Tulisan ini dikutip dari buku "Merayakan Hidup dalam Keberagaman" terbitan Penerbit Andi.