AHY, Amira dan Annisa/Ist.



Oleh: Michael Lumanauw

Mendadak viral, Almira Tunggadewi Yudhoyono, anak semata wayang pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Annisa Pohan. Berita viral tentang gadis cilik 12 tahun, kelas 6 SD ini bermula ketika ia menulis surat terbuka kepada presiden Jokowi. Kira-kira apakah motivasi atas surat terbuka tersebut? Berbagai asumsi bisa saja muncul. Barangkali juga tulisan tersebut merupakan tugas dari sekolah.

Surat terbuka Almira mendapat tanggapan beragam dari warganet. Bertepatan ayah dari Almira adalah AHY yang adalah Ketua Umum Partai Demokrat yang sebelumnya mendukung agar diberlakukan lockdown dan hal yang sama juga dilakukan oleh eyangnya mantan Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono. Damoak ketika Almira menulis surat terbuka ke presiden, maka warganetpun membully gadis cilik yang disapa dengan Aira ini.

Tak terima anaknya dibully oleh simpatisan Jokowi di media sosial, Anisa Pohan kemudian memprotes kepada presiden Jokowi. Kejamnya dunia politik. Tidak mudah memang bagi seorang pimpinan partai politik. Apabila seorang pimpinan partai mengeluarkan suatu pernyataan politik, otomatis jajaran di bawahnya pasti akan mengikuti pernyataan tersebut secara berjamaah, layaknya suatu koor, untuk mendukungnya. Hal ini wajib buat anggota partai politik untuk selalu "harus sepakat" dengan pimpinannya, jika tidak mau disebut mbalelo.

Siapakah  yang salah dalam hal ini?

Bagi saya, Almira tidaklah salah jikapun ia memiliki pandangan yang sama dengan eyangnya, ayah serta ibunya. Karena untuk anak 12 tahun sudah cukup memiliki rasa ingin tahu dan sudah bisa berpendapat sendiri, apalagi kalau anak itu cerdas. Namun berbicara tentang lockdown di Indonesia tidak sesederhana istilah lockdown pada umumnya yang diterapkan di luar negeri akibat virus corona.

Di negara-negara lain penerapan lockdown tidak memiliki dampak yang banyak terlalu kompleks, selain adalah kesiapan pemerintah dalam menerapkan secara tegas dan konsisten serta dampak ekonominya. Tetapi lockdown di Indonesia berbeda. Di Indonesia pasca pemilihan presiden dan wakil presiden 2019  situasi dan kondisi politik di Indonesia belum stabil. Dampak kompetisi pilpres yang lalu sampai saat ini masih sangat terasa.

Suara-suara yang ingin menjatuhkan presiden Jokowi, sekalipun secara de facto dan de jure sudah sah memimpin. Bahkan bagi pemerintah lockdown dianggap sebagai pintu masuk berbagai kekacauan. Bayang-bayang peristiwa tragis pada bangsa ini pada tahun 1998  seperti dihidupkan kembali oleh para elit negeri ini. Dari beberapa insiden dan postingan di medsos sangat jelas nuansa politik jika terjadi lockdown. Ditangkapnya kelompok Anarko yang merencanakan kekacauan di bulan April, hanya merupakan salah satu indikasi. Pemerintah yang memiliki instrument dan lembaga-lembaga intelejen, pasti sangat paham akan hal ini.
 
Karena itulah kemudian warganet maupun pendukung presiden Jokowi yang terkenal sangat militan langsung bereaksi membully. Sebenarnya bullyan dari warganet sejujurnya diarahkan kepada bapaknya dan eyangnya Almira bukan pada dirinya.

Jadi siapa yang salah? Sebenarnya dalam kondisi yang normal dan tanpa embel-embel di belakang Almira ada AHY & SBY, Almira tidak salah, bahkan patut diacungi jempol, karena sekalipun baru berumur 12 tahun dan duduk di kelas 6, sudah memiliki ketertarikan pada masalah bangsa yang sedang terjangkit virus corona.
 
Mungkin yang kurang bijaksana di sini adalah ayah dan ibu Almira yang kurang memperhatikan dan tidak peka terhadap suasana kebathinan mayoritas masyarakat Indonesia pendukung Jokowi, yang menolak diterapkannya lockdown di Indonesia. Walaupun bagi kedua orangtuannya, Agus dan Annisa ini adalah kreatifitas anak. Apalagi Almira masih kanak-kanak sehingga tidak elok didorong secara tidak langsung ke dunia politik. Apalagi dengan isu yang sangat sensitif yaitu "lockdown".

   
Apakah netizen yang membully Almira salah?

Warganet pendukung presiden tidaklah salah, karena sekali kita munculkan pikiran atau pendapat kita di medsos, risikonya cuma 2, yaitu didukung dengan like dan komen-komen yang positif, atau sebaliknya mendapat bullyan. Inilah risiko menampilkan pikiran atau pendapat di dunia maya yang serba bebas.

Oleh karena itu menurut hemat saya, adalah sangat penting bagi kita untuk berhati-hati dalam memposting sesuatu di dunia maya atau di medsos. Karena pikiran dan pendapat kita akan berhadapan dengan ratusan juta jari yang serta-merta akan meladeni atau memberikan tanggapan terhadap pikiran dan pendapat kita yang kita posting.

Pengalaman yang sudah-sudah banyak orang yang membuat postingan yang kontennya negatif akhirnya harus berurusan dengan aparat yang berwajib. Pada umumnya ketika ditanya jawabnya katanya tidak bermaksud menghina, memfitnah dan lain sebagainya.

Buat Almira, tetap semangat, tetaplah kreatif namun tetaplah juga berhati-hati dalam memberi pendapat atau gagasan, sebab masuk ke dunia medsos penuh dengan risiko penghakiman, apalagi hal itu punya nuansa politik.